Jumat, 10 November 2017
Syalom aleikhem.
Umum terjadi sapa-menyapa dalam perjumpaan antarmanusia. Salam, jabat tangan, cium, peluk. Kadang ada juga sapaan basa-basi. Dengan Tuhan ternyata orang bisa juga basa-basi. Ini terjadi di dalam gereja. Yang dimaksud basa-basi ialah melakukan sesuatu sekadarnya tanpa isi. Tulus atau tidak, sadar atau tidak, itu urusan lain. Di gereja ketika menghadap Tuhan, orang bisa basa-basi berbuat sesuatu. Contoh yang umum adalah berlutut.
Orang Katolik punya kebiasaan berlutut saat menuju tempat duduk di gereja. Ini kebiasaan baik. Namun, yang baik kadang kehilangan isinya. Sebabnya ialah orang melakukannya asal-asalan, sembarangan, kurang peduli, acak-acakan. Yang kerap tampak bukan berlutut, tapi – maaf – melempar pantat. Aduh!
Maksud gerakan berlutut di gereja ialah kerendahan di hadapan Tuhan (yang bertakhta dalam Sakramen Mahakudus). Umat datang sebagai hamba (meski) sekaligus anak-Nya. Gerakan berlutut mau menegaskan yang terjadi dalam batin yang datang menyembah Tuhan. Bukan sekadar berlutut. Kalau cuma berlutut secara raga, ah itu hampa.
Sudah punya sikap batin begitu saat berlutut? Jika belum, mari perbaiki cara raga dan sikap batin saat berlutut. Berlutut, jangan basa-basi. Berlututlah dengan hati yang punya sikap sembah kepada Tuhan yang kita hadap.
Rev. D. Y. Istimoer Bayu Ajie
Katkiter
Santo Mikael, Malaikat Agung, belalah kami pada hari pertempuran. Jadilah pelindung kami melawan kejahatan dan jebakan si jahat. Dengan rendah hati kami mohon kiranya Allah menghardiknya, dan semoga engkau, Panglima Pasukan Surgawi, dengan kuasa Allah mencampakkan ke dalam neraka Iblis dan semua roh jahat lain yang berkeliaran di dunia hendak membinasakan jiwa-jiwa.